Friday, 29 July 2016

Prinsip Mudik

Hai semua!

Apa kabar kalian yang baru aja selesai liburan?

Bagaimana mudiknya?

Seberapa bahagia kamu setelah terlibat perjalanan panjang bersama koloni peserta arus balik?

Akhirnya kembali lagi ke hari-hari biasa ya...

Hari-hari penuh penantian akan kembalinya hari-hari libur selanjutnya...


Entah mengapa sebuah kegelisahan membawa aku untuk menulis tulisan tentang ‘bagaimana prinsip mudik tertanam pada kehidupan kita. Pada umumnya’.

Ya, sering kali kegiatan mudik ini menjadi sesuatu yang dianggap sebagai ‘akhir’ dari suatu ‘kisah’...

Setelah sekian lama berbaur dengan keringat, para pekerja yang mengais rupiah di perkotaan akan kembali ke kampung halamannya. Seakan hanya kampung halaman yang bisa membasuh keringat itu agar jiwa kembali segar..

Setelah cukup sering bergumal dengan darah, para kesatria kembali ke rumahnya. Seakan rumah menjadi tempat yang tepat untuk mengeringkan darahnya yang tak berhenti menetes..

Atau setelah sekian lama berjuang menjalankan keluarga kecil baru, pada akhirnya akan membawa ‘keluarga baru’ itu untuk bertemu ‘keluarga lamanya’, membawa sang suami atau sang istri untuk menyapa orang tua di kampung halaman, seakan pertemuan dengan orang tua mampu mengurangi beban yang selama ini menyerang silih berganti.. 
Dihadapan orang tua, mengadu tentang hal yang selama ini ingin kita adukan..

Hmm,
Dan setelah melalui fase-fase mudik diatas, pada akhirnya kita merasa bersih untuk memulai lagi dari awal, sampai akhirnya tiba pada masa mudik berikutnya?

Dejavu?

Hal-hal tersebut memang telah menjadi pengulangan yang tak terelakan...

Dan prinsip itu mau gak mau ternyata memang sudah terbangun pada kehidupan pribadi kita pada umumnya...

Contohnya,
Ketika diantara kalian terlibat hubungan, kita akan melalui masa dimana melakukan kesalahan, disengaja maupun tidak..

Kemudian dengan kadar kedewasaan yang berbeda pada setiap orang, akhirnya membuat salah satu mengalah untuk meminta maaf..

Lalu seiring berjalannya waktu, akan datang masanya untuk kembali meminta maaf(lagi) untuk hal lain..

Seolah kesalahan hanyalah hal yang akan terus terulang..

Karena memang ada banyak hal di dunia ini yang mau tidak mau memang akan terus berulang tanpa bisa terelakkan, tapi kita di tuntut untuk maklum, dengan syarat, yang terjadi belum pernah terjadi sebelumnya.. atau juga, yang terjadi baru saja tidak lebih buruk dari sebelumnya.. Itu mutlak!

Karena kehidupan bukan tentang seberapa banyak melakukan kesalahan..

Tetapi bagaimana bisa seseorang menjadi lebih baik karena kesalahannya..

Atas dasar itu, setiap kesalahan besar seharusnya menjadi patokan untuk batas maksimal kesalahan berikutnya..


Sesederhana itu saja..


No comments:

Post a Comment